PEREMPUAN PEJUANG PANGAN

SUPAJIYEM PEJUANG KETAHANAN PANGAN.



Suparjiyem adalah seorang perempuan petani asal Desa Wareng, Wonosari, Kabupaten Gunungkidul dan seorang aktivis pangan yang mengampanyekan produksi dan konsumsi pangan lokal non-beras, seperti tiwul dan gaplek. Ia juga membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) Menur yang merupakan wadah bagi para perempuan petani untuk mengembangkan diri mereka, serta mempelajari seluk-beluk budidaya umbi-umbian, seperti singkong, gembili, uwi, suweg dan garut. Selain itu, para anggotanya juga diajari untuk mengolahnya menjadi berbagai macam penganan yang kemudian dijual di warung, di antaranya seperti kripik singkong, ceriping tales, tepung gembili, tepung uwi, penyek kacang hijau, krecek dari singkong dan tapolo.



Beberapa penghargaan yang berhasil diraih Suparjiyem adalah:

1. Perintis Penyelamat Lingkungan dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul (2015)

2. Female Food Heroes Indonesia dari Oxfam (2013)

3. Nominasi Kick Andy Heroes (2019)

Suparjiyem adalah satu dari tujuh perempuan yang mendapat penghargaan Female Food Heroes Indonesia oleh Oxfam pada 2013. Dia dinilai berdedikasi menghadirkan pangan dan menghindari bencana kelaparan masyarakat di sekitarnya.

Ibu dua anak itu berperan menggerakkan komunitas untuk memanfaatkan tanaman alternatif selain padi di Gunungkidul, daerah yang identik dengan kemiskinan. Tanaman uwi, gembili, garut, gadung, singkong, ganyong, dan jahe tumbuh subur di pekarangan penduduk. Suparjiyem melihat ada potensi untuk memanfaatkannya.

Gunungkidul juga punya stok pangan berupa tiwul—makanan dari singkong—yang melimpah. Tiwul menjadi makanan pengganti beras. Suparjiyem berinisiatif mengolah aneka pangan lokal itu menjadi tepung dan makanan bernilai ekonomis. Sejak 1981, dia gencar berkampanye menanam pangan alternatif.

Di Gunungkidul ada 47 perempuan yang berhimpun dalam Forum Petani Perempuan Gunungkidul. Mereka menggerakkan petani untuk menanam pangan alternatif. Saat ini sudah ada 900 petani yang terlibat. Dia selalu memberi contoh dengan membawa produk berbahan pangan lokal.

Tiap anggota bertugas menanam, mengolah, dan memasarkan sehingga hasilnya punya nilai tambah secara ekonomi. Misalnya garut per kilogram Rp 2.000, setelah diolah menjadi aneka makanan harganya Rp 10 ribu. Dari usaha itu penduduk mendapat penghasilan tambahan sekitar Rp 15–20 ribu per hari.

Tiap musim panen di Kecamatan Semin dihasilkan 10 kuintal garut. Tepung garut dipasarkan di toko roti, dan anggota kelompok mengolahnya menjadi camilan.



Suparjiyem kini banyak diundang untuk memberi pelatihan mengenai pengolahan pangan lokal, bahkan hingga ke Thailand. Direktur Keadilan Ekonomi Oxfam, Dini Widiastuti, mengatakan Suparjiyem punya peran penting dalam mempromosikan ketahanan pangan di Gunungkidul agar tak terjadi kelaparan. “Dia menggerakkan perempuan dan petani untuk memanfaatkan pangan lokal dan memberi nilai tambah secara ekonomi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ARINTOKO PROVOKATOR PERTANIAN

PANDUAN TEKNIS BUDIDAYA PISANG

KOLONJONO